Seandainya ..
Saat akan melangkah di depan pintu mendadak terlintas pikiran kaki mana yang sebaiknya melangkah duluan, kiri atau kanan. Pikiran itu muncul karena mendadak ingat kata nenek bahwa kalau melangkah perlu dengan kaki kiri duluan agar berhasil mencapai tujuan. Lalu sekarang sama sekali tidak jadi melangkah karena ada protes dalam hati kecil,
ngapain percaya begituan. Di sisi lain yakin melangkah dengan kaki kanan saja karena biasanya juga demikian dan baik-baik saja. Lalu kemudian muncul pikiran lain lagi bahwa kali ini melangkah menuju tempat untuk presentasi satu project besar, jadi perlu benar agar berhasil. Alhasil .. dijamin pasti berhenti sekian detik di depan pintu tidak melangkah sama sekali, atau malah salah satu kaki sudah diangkat menggantung tunggu keputusan kaki mana yang sebaiknya melangkah duluan. Nanggung.
Seandainya pula ..
Saat akan melangkah berusaha menapak dengan kaki kanan tepat di daun pintu sebagaimana kebiasaan sehari-hari. Namun karena satu dan lain hal, kali ini kaki kiri yang menapak tepat di pintu. Perasaan galau mendadak akibat kebiasaan yang terganggu. Kecil, tapi kemudian mulai terganggu dengan pikiran 'apa lagi yang akan terjadi di luar kebiasaan saat presentasi satu project besar nanti'.
Ada lagi ..
Sedang melangkah lintas ruangan menuju tempat untuk presentasi satu project besar dan tiba-tiba menyadari bahwa orang-orang di ruangan yang biasanya menyapa, hari ini diam saja. Bahkan tidak menoleh sama sekali. Langkah mulai melambat dan berpikir apa yang sedang terjadi sehingga tidak seperti kebiasaan sebelumnya, kemudian berpikir apa
yang akan ditemui di ruang presentasi nanti yang juga di luar kebiasaan.
Mengapa begitu sulit untuk maju?
Walau hanya sekedar berjalan melangkah maju?
Contoh-contoh di atas hanya metafora dari apa yang sering kita alami sehari-hari.
Delusi kesuksesan, saya sadur dari tulisan Marshall Goldsmith berjudul 'Success Delusion'. Tulisan ini menarik karena menjelaskan bagaimana banyak orang sukses yang berada dalam delusinya sendiri atas kesuksesan yang pernah dialami. Kata 'delusi' yang berarti 'khayalan' bisa memberi arti yang kurang produktif. Khayalan, angan2, tidak
nyata. Namun bagi sebagian besar orang, delusi ini justru membantu. Bila dikaitkan dengan teori Mind-Power, delusi ini terbangun karena pengalaman sukses yang terekam dalam pikiran bawah sadar (imprint), yang kemudian senantiasa dianggap nyata walau secara realita tidak demikian. Contoh sederhananya adalah tentang seorang jenderal baru
yang merasa disukai oleh orang2 di sekitarnya. Pembicaraannya selalu disambut antusias. Setiap kali bercanda, pasti disambut gelak tawa. Sampai kemudian diingatkan oleh seorang jenderal senior, bahwa mereka antusias dan tertawa bukan karena pribadi sang jenderal baru tersebut, tapi oleh karena bintang-bintang pangkat di pundaknya. Ini adalah
delusi sukses sang jenderal baru.
Pada dasarnya delusi kesuksesan berdampak positif, karena membangun rasa percaya diri pada seseorang. Umumnya delusi ini terbentuk dari pengalaman2 yang berhasil, bukan kegagalan, karena keberhasilan memberi perasaan senang (reward), yang kemudian memicu rasa ingin mengulanginya kembali di kemudian hari. Banyak orang sukses semakin
sukses dan berhasil atas dasar kerja delusi ini. Mungkin juga termasuk diri kita sendiri. Terlebih lagi otak kita tidak bisa membedakan mana yang nyata mana yang ilusi. Perilaku kita lebih banyak dikendalikan oleh pikiran bawah sadar yang sudah ter-imprint tadi. Apalagi bila sudah menjadi frame of mind yang menggarisbawahi sistem keyakinan kita, bahwa kita pernah berhasil dan pasti berhasil. Still, itupun tetap delusi.
"Eventhough we are not as good as we think we are, this confidence actually helps us be better than we would become if we did not believe in ourselves. The most realistic people in the world are not delusional - they are depressed!" - Marshall Goldsmith, The Success Delusion.
Pada contoh-contoh di atas, saya ambil paradoks-nya. Kita menjadi super waspada dan hati-hati melangkah sehingga menjadi tersendat untuk maju hanya dikarenakan ada sesuatu yang di luar kebiasaan, ketika menyadari secara fakta ada hal-hal yang tidak sesuai dengan delusi yang kita miliki. Itulah fakta-fakta bahwa memang ada yang berubah.
Lingkungan berubah, orang-orang juga berubah. Orang-orang yang delusional sangat sulit untuk berubah. Inilah dampak negatifnya. Contoh-contoh di atas menceritakan bagaimana hanya untuk melangkah maju saja cukup terganggu bila tidak sesuai dengan delusinya. Karena ketika berubah, mereka dihadapkan pada fakta dan data yang tidak lagi dalam pikiran bawah sadar, keadaan yang tidak sama dengan pengalaman sebelumnya. Manusia cendrung melakukan apa yang sudah diketahuinya. Resisten muncul karena kita berhadapan bukan saja dengan ketakutan
atau kekuatiran untuk berubah. Yang terutama adalah karena ketidaktahuan bahwa mereka berada dalam delusi alias bayang-bayang keberhasilan mereka, di masa lalu.
Ini menjawab mengapa orang yang semakin tua semakin keras kepala. Atau yang semakin 'di atas' semakin sulit dirubah. Karena mereka telah mengalami banyak hal dan berhasil sehingga bisa berada di posisi saat ini. Mereka resisten karena tidak sesuai dengan delusi yang sudah terbangun selama ini, delusi yang (dulu) berhasil. Plus, ego-pun ikut terlibat manakala tidak dikomunikasikan dengan baik.
Tulisan ini bukan mengajak kita untuk berkhayal atau hidup dalam dunia khayalan. Tulisan ini justru sengaja dibahas karena perubahan tak terelakkan. Open-minded saja tidak cukup menjamin perubahan yang berhasil. Semoga kita semakin menyadari delusi masing-masing dan re-imprint kembali dengan delusi baru sesuai dengan fakta kebutuhan
saat ini, hari ini.
Selamat beraktivitas.
SUMBER : Artikel Ibu Mariani Ng | Executive Leadership Coach | www.meta-mind.com
SALAM SINERGI !